Monday, December 18, 2017

Jalan Magelang

Jalan Magelang - Satu setengah mangkuk bakso sudah habis dari tadi. Aku masih betah mangkal di sini, menghabiskan es teh manisku yang semakin berkeringat. Dua teman usilku sedang membuat candaan yang sama sekali tidak bisa membuatku tertawa. 

Mereka bercanda tentangku seperti aku tidak ada di antara mereka. Ah, inikah yang dinamakan kedekatan? Berbicara seenak dengkul tentang satu sama lain tanpa merasakan sakit hati maupun perasaan lain. Hanya ikut tertawa atau ikut mengejek masa lalu itu.

“Udah jam setengah lima. Mau pada pulang nggak ini?” tukang bakso yang sepertinya sudah bosan menunggu kami bercanda mengintrupsi dengan sangat sopan. “Nggak baik lho, perawan pulang malem-malem.” Tambahnya disertai sisa senyum menawan di masa mudanya.
“Hehe berarti yang nggak perawan boleh pulang malem dong, Pak?” Tanya temanku usil.
“Ya, apapun lah.” Tukang bakso itu mengerti betul tentang temanku yang satu itu. Dia sering dibicarakan oleh siapapun, hanya karena dia dulu adalah korban pelecehan s*ksual. “Hehe ya udah deh, Pak. Kita pulang. Jangan kangen ciwi-ciwi ini lho, Pak! Kita bakalan libur seminggu ini, Pak.” Sambil terkekeh, aku pamit kepada tukang bakso tercinta itu.

Dua temanku langsung melesat dengan motor mereka masing-masing. Aku yang belum mendapat lisensi menggendarai motor dari orangtuaku hanya bisa berjalan di tempat yang aman untuk menunggu salah satu anggota keluargaku menjemput. Kalau ada yang ingat. Jalanan mulai ramai karena ini adalah jam menjelang pulang kantor. Matahari juga sedang mengucapkan selamat tinggal. Jadi, di sini aku sendiri. Satu-satunya “makhluk hidup” yang aku kenal hanyalah handphone di genggamanku. Untung tadi sudah aku charge.

Aku memasang headset hijau membahanaku ke handphone, menyalakan lagu, kemudian menempelkan dua bulatan penyumpal itu di salah satu lubang telingaku. Menyenangkan rasanya, menikmati sore saat perutmu kenyang, ditambah lagu yang menemanimu, dan jalanan yang ramai. Oh, jangan lupakan suasana sisa panas siang dan sedikit dingin yang akan datang. Langit orange gelap yang indah juga salah satu pelengkap kebahagiaan. Tapi satu kesedihan yang aku rasakan saat ini: rindu.
Rindu pada seseorang yang bahkan diragukan ingat padaku atau tidak. Mending kalau cinta bertepuk sebelah tangan. Ini rindu sebelah tangan yang sangat tidak berfaedah. Saat ini, bahkan hanya rindu sebelah tangan saja sudah sedikit mengacaukan kebahagiaan soreku. Menyebalkan. Tapi menyenangkan.

Aku memandang kosong kendaraan-kendaraan yang berlalu cepat melewatiku. Seakan mereka tidak mengetahui kalau ada makhluk kesepian sedang duduk di pinggir jalan ini. Semakin kupandangi, aku sadar, jalanan semakin ganas saat ini. Terbersit keinginan untuk kabur, tidak usah melewati jalan. Tapi aku tahu, bahkan untuk kabur aku membutuhkan jalan.

“Mbake, sendirian aja?” aku tidak sadar kalau ada motor yang berparkir di dekatku. Pengendaranya sudah turun, bahkan sudah duduk. Dan aku mengenalnya.
Sejenak aku terpesona dengan matanya. Tapi kemudian aku menjawab ragu, “Sekarang.. tidak.”
Dia tersenyum. Tidak manis, tapi aku menyukai cara matanya turut tersenyum. “Masih nunggu jemputan?” aku mengangguk, kembali memandang ke depan. Jangan sampai aku larut dalam pandangan matanya yang teduh itu. Bahaya.
“Aku juga lagi nunggu temen. Bisa ngobrol? Biar nggak bosen.” Dia terkekeh malu saat mengatakannya. Aku tersenyum setipis mungkin, agar dia tidak menyadari senyumanku. Kumatikan handphoneku, beralih menatap makhluk yang lebih nyata dan indah di depanku.

Dia tidak ganteng. Aku tidak suka cowok ganteng yang digandrungi banyak perempuan lain. Tapi dia manis dengan jalannya sendiri. “Enak ya, besok libur.” Bukanya menghapus suasana sepi diantara kami berdua.
“Iya. Semangat ya buat ujian besok, Kak.” Aku beralih memperhatikan lampu jalanan yang beberapa sudah menyala. “Besok ujian apa?”
“Bahasa. Kesukaanku.” Aku tahu itu. Kamu suka pelajaran bahasa Indonesia. Aku juga, karena kamu.
“Udah belajar?” dia hanya terkekeh. Bahasa Indonesia, apa yang akan dipelajari? Semuanya tergantung soalnya. Bacaannya juga.

Sekarang langit benar-benar gelap. Dan aku tebak di rumah tidak ada yang sadar kalau aku belum pulang. Dasar. Keluarga macam apa itu. “Mau aku antar pulang?” seperti itulah manisnya dia.
Aku menggeleng, melihat ke matanya yang indah. “Makasih, Kak. Aku nggak enak. Lagian kamu juga lagi nunggu temenmu.” Aku menghela nafas sebelum melanjutkan, “Lagian di sini menyenangkan.” Aku tidak berani menatap matanya saat mengatakan kalimat terakhir itu. Takut kalau nantinya dia akan peka.
Dia terkekeh. Tidak tahu karena apa, tapi kelihatannya karena kalimatku. “Hehe, temen yang aku tungguin itu kamu.”
Pipiku memanas. Aku menggaruk leherku yang tertutup kerudung hitam. Gugup. “Besok habis aku UN, hari Sabtu ketemu aku di sini, ya? Jam empat sore.” Entah kenapa, pipiku tambah panas. Semoga tidak terlihat merah. Aku mengangguk kaku menanggapi ajakannya. “Tuh, adikmu udah dateng.”
Segera aku beranjak dari dudukku. “Makasih, Kak. Udah mau nemenin aku.” Ucapku lirih seakan tidak punya asupan suara yang cukup untuk dikeluarkan.
“Mas. Panggil Mas. Sampai ketemu, Dek Cinta.” Jantungku berhenti. Jangan mati dulu, Lov. Otakku memperingatkan. Adikku sudah ada tepat di depanku, jadi aku langsung menaiki motornya. Sebelum aku dan adikku melesat, aku mengangguk sambil tersenyum canggung.
Jangan berpikiran aneh-aneh, Lov. Dia memanggilmu Cinta karena memang namamu kalau diartikan Cinta. Dan jangan lupa nanti bernapas dan tidur malam. Kamu butuh itu untuk bertahan hidup sampai hari Sabtu setelah UN.

Aku menunggunya. Di hari Sabtu setelah Ujian Nasional. Pukul empat sore. Persis seperti apa yang dia janjikan dulu. Walaupun sudah lebih lima belas menit. Ditemani band kesukaannya, Maroon 5 yang terputar di handphoneku. Dan buku kumpulan soal bahasa Indonesia yang sudah lecek karena seringnya aku buka tutup.

Aku masih menunggu. Sampai jam di handphoneku berkata kalau ini sudah pukul lima sore. Jalanan ramai. Seperti biasa. Aku masih setia menunggu. Tidak seperti biasa. Bahkan Ibuku sudah menanyakan aku pulang jam berapa. Aku menjawab dengan cepat kalau aku akan pulang bareng teman.

Sudah adzan maghrib. Dan aku masih dengan seragam batikku. Polesan bedak yang tadinya terpaksa aku pakai karena dua curut menyebalkan kini hanya tinggal kenangan. Aku memasukkan buku latihan soalku ke dalam tas. Aku jadi mirip anak penggila nilai kalau terus-terusan memegangi buku itu. Bahkan Maroon 5 sudah bosan menyanyikan lagu mereka.

Tiba-tiba ada motor yang parkir di depanku. “Lov ya?” Tanya pengendaranya sembari membuka helm. Terlihat kalau dia sangat lelah, kemudian sangat lega saat melihatku. Aku mengangguk sambil mencoba mengingat siapa dia.

“Tadi Hamdan barusan berangkat. Dia nitip ini sama kamu. Dia juga bilang maaf karena nggak bisa nepatin janjinya.” Dia merogoh saku jaket hitam kelamnya untuk mengeluarkan sepucuk surat dengan amplop putih. Jaman apa saat ini, masih pakai amplop segala.

“Emang Mas Hamdan ke mana?” laki-laki yang kuduga adalah teman Mas Hamdan itu terlihat kaget mendengar pertanyaanku. Dia duduk di sampingku, tapi tidak terlalu dekat. Seperti memang menjaga jarak denganku. “Kamu panggil dia Mas?” tanyanya heran.
Aku mengangguk singkat. Dia salah fokus.

“Tidak biasa. Dia emang sudah suka banget sama kamu. Dasar. Kamu kasih pelet apa dia?” dia benar-benar salah fokus.

“Mas Hamdan ke mana?” tanyaku lagi. Wajahnya langsung terlihat sebal. “Ke Amrik.”
Aku salah dengar. Kupandangi amplop yang sudah ada di tanganku. Lama. “Amerika. Dia ke Amerika. Kuliah.” Padahal barusan selesai Ujian Nasional. Aku salah dengar. “Persiapannya panjang. Dia juga butuh kursus bahasa intensif dulu. Jadi dia berangkat sekarang.”
Pandanganku beralih ke laki-laki teman Mas Hamdan itu. “Boleh minta ID Line?”
“Aku udah punya pacar. Lagian aku nggak doyan-”
“ID Line Mas Hamdan.” Potongku cepat. Dia tertawa, seperti ada yang sangat lucu. “Orang macam Hamdan mana punya Line. Handphone aja cuma dia pegang dua kali dalam tiga tahun.”
“Apapun yang bisa aku hubungi.”
“Nggak ada. Bahkan aku nggak dikasih alamatnya yang di sana. Dia sangat tidak mau diganggu dengan hal-hal seperti itu.” Air mataku meleleh. Kenapa? Sial.

“Lah, kok nangis?” laki-laki itu terlihat kelimpungan. “Aku nggak nangis. Tadi ada debu masuk.” Aku menyeka air mataku kasar. Dan sialannya malah tambah deras.
“Duh kalo Hamdan tahu kamu nangis pasti dia nggak bakal pergi deh. Makanya dia tadi cuma liatin kamu dari jauh. Huh. Dasar.” Peduli setan dengan semuanya.
“Anterin pulang. Siapapun kamu. Tanggung jawab.”
“Aku Rio. Temen Hamdan. Panggil Kak. Jangan Mas.” Menyebalkan sekali orang ini.

Itu satu tahun yang lalu. Kenangan pahit saat aku menyukai seseorang. Dan aku rindu lagi dengan Mas Hamdan. Jalanan masih ramai. Seperti biasa. Dan aku dengan selembar kenangan tetap menunggu adikku menjemput. “Dek, sendiri aja?” aku menoleh, merasa diajak bicara.

Dan mataku tak bisa beralih dari mata indah yang bahaya itu. Mata yang saat ini terlihat ingin tersenyum dan menangis. Mata yang indah. Seperti seseorang. “Sekarang.. tidak.” Dia tersenyum. Mata itu tersenyum.

“Kangen aku nggak, Dek?” dia mengalihkan pandangannya. Memandang jauh ke depan. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari mata itu. Oh, jangan lupakan pipinya yang terlihat lebih putih itu memerah malu.

“Barusan kangen.” Tambah merah. Dan pipiku juga memanas. Inikah reaksi dari hormon cinta?
“Maaf, nggak bisa tepatin janjiku dulu.” Suaranya yang khas terdengar lebih lirih. Kehilangan tenaga. “Aku nggak tanggung jawab banget, ya? Maaf.” Semakin lirih.
Matanya berkaca-kaca, tapi aku tahu dia ingin menyembunyikannya. Jadi aku beralih, tidak memandang matanya. “Mas, aku pengen kabur. Lama-lama aku takut ada di jalan ini.” Dia terdiam. “Aku boleh ikut jalanmu nggak, Mas?”
“Emang kamu mau ke mana?”
“Nggak tahu.”
“Jalanku agak tidak mulus, lho Dek. Kamu tetep mau lewat?”
Aku menunduk. Merasa tidak diterima. “Kalo Mas nggak ngijinin juga nggak masalah.”

“Jalanmu ya jalanmu, Dek. Jalanku ya jalanku. Kamu mau lewat jalanku pun pasti harus lewat jalanmu dulu. Lewati dulu jalanmu, Dek. Aku juga sedang berjalan di jalanku. Nanti, kalau ada persimpangan, kita ketemu di sana. Kamu dan aku ketemuannya di simpangan, ya Dek. Tapi sayangnya simpangan itu masih jauh. Dan kalau kamu tidak mau lewat jalanmu untuk ke simpangan itu, kapan kita ketemu? Jadi, jalanlah di jalanmu dulu. Pokoknya, kita ketemunya di simpangan.” Kekuatannya kembali. Suara khasnya semakin terasa merdu.

“Terus kita ngapain di simpangan, Mas? Kamu ninggalin aku lagi kalau aku udah sampai sana?”
“Nggak. Nanti aku yang nunggu kamu di sana. Aku bakalan tunggu di depan kendaraan baru yang aku beli. Nanti aku dan kamu jadi kita di sana.” Pipiku memanas. Malu sekaligus tertampar.
“Jadi?”
“Jalan sendiri-sendiri dulu. Mau, kan?” aku tersenyum. Mengangguk. “Jangan nunggu aku terus di pinggir jalan. Kan nanti gantian aku yang nunggu kamu di persimpangan.” Aku mengangguk lagi.
“Aku kalau lewat Jalan Magelang ini bisa sampai ke persimpangan tempat kamu nunggu nggak, Mas?”

Dia tersenyum hangat, “Dek Cinta, semua jalan itu terhubung. Mau lewat manapun pasti ketemu.”
“Walaupun terpisah pulau?”
“Kan masih ada laut.”
“Itu jalan?”
“Iyalah.”

No comments:

Post a Comment

Nonton Anime Baca Komik Short Url Forum Indo Manga